Beranda | Artikel
Kiat Merealisasikan dan Menjaga Keamanan
Sabtu, 10 Desember 2022

KIAT MEREALISASIKAN DAN MENJAGA KEAMANAN

Oleh
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

Dalam masalah ini, saya telah menelaah dan mengkaji beberapa nash al-Kitab dan as-Sunnah. Dari sini, saya memahami – wAllâhu a’lam- bahwa sebab-sebab yang bisa mewujudkan keamanan dan kiat untuk menjaganya bertumpu pada 10 sebab:

Pertama. Iman
Iman adalah pilar pokok keamanan. Rasa aman tidak akan ada kecuali dengan iman. Kata iman itu sendiri secara bahasa diambil dari kata al-amnu yang berarti aman. Dalam iman terdapat rasa aman, tenang, percaya penuh kepada Allâh Azza wa Jalla , keteguhan hati, ridha, pasrah dan tunduk kepada Allâh Azza wa Jalla . Semakin besar kadar iman seorang hamba, makin besar pula kadar keamanan yang ada padanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ اٰمَنَ وَاَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.  [Al-An’âm/ 6: 48]

Bila rasa takut dan sedih sirna, maka rasa aman akan terwujud secara sempurna, kebahagiaan dan kemenangan abadi.[1] Demikian pula iman seseorang yang tidak bercampur syirik akan membuahkan keamanan dan petunjuk yang sempurna, di dunia dan akhirat (lihat QS. Al-An’âm/ 6: 82). Kadar keamanan dan hidayah seseorang, sesuai dengan kadar imannya. Sehingga manusia bisa dikategorikan menjadi tiga golongan terkait keamanan yang menanti mereka:

  1. Mereka yang mendapatkan keamanan sempurna, yaitu orang-orang yang imannya sempurna
  2. Mereka yang tidak mendapatkan keamanan, yaitu mereka yang tidak punya iman.
  3. Mereka yang mendapatkan keamanan secara global, yaitu mereka yang secara global masih punya iman.

Iman dan keamanan sangat terkait erat satu sama lain, sebagaimana keselamatan terkait erat dengan Islam. Maka orang yang menginginkan keamanan dan keselamatan, ia harus beriman dan berislam. Oleh karena itu, iman mendidik dan menempa seseorang untuk mewujudkan keamanan. Sehingga ketika seorang merealisasikan iman dan Islam dengan benar, keamanan dan keselamatan menjadi hak mereka.

Kedua. Ikhlas Menjalankan Agama dan Bersemangat Dalam Beribadah
Di antara kiat terbesar untuk meraih keamanan adalah dengan ikhlas dalam menjalankan agama, memurnikan ibadah hanya untuk Allâh Azza wa Jalla dan menjaga ketaatan kepada-Nya. Amal shalih dan ibadah kepada Allâh serta menghinakan diri di hadapan-Nya akan mendatangkan ketenangan. Bahkan ketika terjadi kekacauan besar, yang mengakibatkan kondisi genting hingga terjadi pembunuhan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan umatnya untuk beribadah. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa ibadah dikala itu sama dengan hijrah kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sebagian Ulama mengatakan bahwa agungnya kedudukan ibadah saat itu, bisa jadi karena kebanyakan orang lalai dari ibadah. Mereka sibuk dengan berbagai isu, banyak bertikai, tampil untuk ikut terjun ke gelanggang fitnah.

Ketiga. Doa
Sebagaimana ucapan sebagian Ulama bahwa doa merupakan kunci semua kebaikan dunia dan akhirat. Sebagian salaf berkata, “Aku memperhatikan tentang kebaikan. Ternyata pintunya begitu banyak; Shalat, puasa, dan amal kebajikan. Dan aku temukan bahwa itu semua ada di tangan Allâh Azza wa Jalla . Maka aku yakin bahwa doa merupakan kunci setiap kebaikan.”

Oleh karena itu, hendaklah kita memohon semua kebaikan dunia dan akhirat hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap pagi dan petang berdoa dengan doa memohon keamanan dan penjagaan, serta memohon keselamatan. Dan ini semua tidak dapat diraih kecuali dari Allâh Azza wa Jalla .

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan, “Mohonlah kepada Allâh Azza wa Jalla agar Dia menutup aurat kalian dan memberikan rasa aman di hati kalian.”[2]

Doa adalah sebab dan media yang agung lagi penuh barakah untuk meraih keamanan. Bukankah Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar dan Mengabulkan doa hamba-Nya?

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. [Al-Baqarah/ 2: 186]

Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali.

Keempat. Kembali Kepada Ulama yang Kokoh Saat Terjadi Fitnah
Yaitu agar kita meruju’ atau kembali kepada Ulama handal lagi kokoh ketika terjadi bencana dan problema yang menyangkut kemaslahatan umat. Mereka yang memiliki ilmu tentang agama ini. Jangan kemudian meminta semua orang untuk turut berbicara. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amr di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). [An-Nisâ’/ 4: 83]

Renungkanlah ayat tersebut!

Dalam ayat tersebut terdapat pengajaran dan didikan terhadap kita. Bila terjadi suatu kejadian yang menyangkut keamanan dan ketakutan yang menimpa umat, maka tidak semua orang turut andil berbicara dan diminta fatwanya. Namun kembalikanlah kepada para Ulama yang pandai mengambil kesimpulan dan makna yang benar.

Bila tidak demikian, maka akan terjadi berbagai kekacauan dan kehancuran. Sebab mereka berfatwa tanpa dasar ilmu, dan tergesa-gesa dalam memberikan jawaban dan solusi tanpa menimbang dan memperhatikan firman Allâh dan Rasul-Nya.

Umat ini telah banyak ditimpa cobaan. Di antara sebabnya adalah adanya sebagian orang yang tak berkecukupan ilmu agama namun ia tampil di tengah kaumnya untuk mengambil sikap dalam hal tersebut. Sehingga iapun mencelakakan diri sendiri dan juga mencelakakan orang lain.

Namun ironinya, bila terjadi bencana umat, justru setiap orang mengeluarkan fatwa, mengunjukkan idenya. Bahkan terkadang orang bodoh ataupun penuntut ilmu yang masih pemula, justru ia dengan lantang berorasi memberi arahan, langkah apa yang harus diambil dan memberikan solusi dengan tergesa-gesa. Padahal para Ulama yang râsikh (mumpuni kapasitas ilmunya), ketika dihadapkan masalah-masalah ini, mereka akan mempelajarinya dengan seksama dan mengambil kesimpulan dengan berdasar apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, tanpa tergesa-gesa dan terburu-buru.

Jadi, kembali kepada para Ulama termasuk cara mewujudkan keamanan.

Kelima. Menjaga Keutuhan Jamaah Muslimin dan Patuh Taat Kepada Ulil Amri
Karena keamanan tidak akan terwujud tanpa Negara; dan Negara tidak akan tegak kecuali kalau ditaati pemimpinnya. Maka bila pemimpin tidak didengar dan tidak ditaati; tidak ditunaikan perintah Allâh Azza wa Jalla dan perintah Rasul terkait pemimpin, maka kerusakan dan kekacauan akan merajalela. Karena itu, banyak nash dari al-Quran dan as-Sunnah yang menegaskan ketaatan kepada ulil amri, menasihatinya dan taat kepadanya. Dan agar seseorang bersabar walaupun terkadang akan ada sikap penguasa yang mengorbankan hak rakyat, namun ia tetap bersabar, dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar memperbaiki keadaan, dan mendoakan hidayah dan taufiq untuk penguasa. Ini sebagai upaya menjaga keutuhan jamaah kaum Muslimin, ketaatan kepada penguasa dan bentuk nasihat kepada mereka.

Dari Tamim ad-Dâri Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan untuk kaum Muslimin secara umum.” [HR. Muslim 55]

Inilah yang diajarkan sunnah dan yang dijalankan kaum salaf. Inilah yang akan membuat kebaikan tersebar luas. Sampai-sampai sebagian salaf berkata, “Sekiranya aku mempunyai doa yang mustajab, tentu akan aku jadikan doaku untuk penguasa.” Sebab baiknya penguasa akan membuahkan kebaikan untuknya dan juga rakyatnya. Namun sangat disayangkan, sebagian orang justru menyalahi kaidah ini. Mereka justru memprovokasi rakyat untuk melawan penguasa. Mungkin saja ia keluar dari ketaatan kepada penguasa, dan menghasut mereka untuk meninggalkan ketaatan. Dan juga mendoakan keburukan atas penguasa.

Ini adalah hal-hal yang menyalahi apa yang ditunjukkan oleh nash-nash dan apa yang diamalkan kaum salafusshalih -semoga Allâh merahmati mereka-.

Karena itu, di antara media untuk mewujudkan keamanan dan menjaganya adalah dengan menerapkan sunnah, termasuk sunnah terkait dengan tata cara berinteraksi dengan para penguasa dan pemerintah. Di mana seseorang menerapkan itu sebagai bentuk menunaikan agamanya dan bentuk bertaqarrub kepada Allâh.

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan bahwa sudah seharusnya masalah kepemimpinan itu kita jadikan sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama, di mana kita juga bertaqarrub kepada-Nya melalui hal tersebut. Dan agar kita menjalankan ketakwaan kita kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kita terhadap penguasa kita; sesuai dengan apa yang diajarkan al-Kitab dan as-Sunnah. Bukan karena didikte oleh hawa nafsu kita.

Keenam. Memberikan Pemahaman Agama Kepada Masyarakat dan  mengajarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Disertai pula dengan membimbing mereka dengan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Karena bila ilmu agama dan kebaikan telah tersebar di tengah masyarakat, maka akan terwujud keamanan di tengah mereka. Inilah tugas para da’i, khatib dan pengajar (serta lainnya); agar memotivasi manusia menuju ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla ; dengan menegakkan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya. Juga agar mereka antusias melakukan kebaikan. Karena ini semua akan bisa merealisasikan keamanan dan kebahagiaan mereka. Mereka akan aman dari berbagai keburukan dan mara bahaya serta kekacauan.

Tidak ada yang menyebabkan gonjang-ganjingnya keamanan suatu masyarakat melainkan dikarenakan kurang atau rusaknya ilmu. Namun bila  ilmu  yang shahih sudah tersebar, maka keadaan mereka pun akan baik dan kondusif, keamanan dan kebahagiaan pun akan terwujud di tengah mereka.

Ketujuh. Merealisasikan Jalinan Ikatan Keimanan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ 

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.  [Al-Hujurât/ 49: 10]

Jalianan persaudaraan dengan dilandasi iman ini sangatlah agung jika bisa diwujudkan di tengah masyarakat. Namun realisasinya harus sesuai dengan arahan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Renungkanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut!

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti halnya ia mencintai dirinya sendiri. [HR. Al-Bukhâri no 13, Muslim no 45 dari Anas Radhiyallahu anhu]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ، وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, maka hendaknya ketika meninggal ia dalam keadaan beriman kepada Allâh dan hari Akhir; dan hendaknya ia memperlakukan orang lain seperti halnya ia ingin diperlakukan. [Penggalan dari hadits Muslim, no. 1844]

Dan hendaknya ia memperhatikan rambu-rambu dan konsekuensi dari jalinan persaudaraan ini dalam Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا» وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ «بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ»

Janganlah kalian saling mendengki! Jangan saling menipu (menawar harga tinggi untuk menipu pembeli)! Jangan saling membenci! Jangan saling membelakangi (memutus hubungan)! Janganlah sebagian kalian berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran lainnya! Dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allâh yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Tidak boleh ia menzaliminya, tidak menelantarkannya, tidak boleh meremehkannya! Takwa itu di sini –dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang dikatakan seorang yang buruk bila ia merendahkan saudara Muslimnya. Setiap Muslim atas Muslim lainnya adalah haram (untuk dirampas) darah, harta dan kehormatannya. [HR. Muslim 2586 dari An-Nu’mân bin Basyîr Radhiyallahu anhu]

Dan juga hadits-hadits lain yang menyerukan untuk mewujudkan tali persaudaraan Islam, sehingga terbentuk dalam masyarakat rasa saling kasih, sayang, saling membantu dan solidaritas. Sehingga terbentuk sebuah masyarakat yang seperti satu badan, yang bila ada yang sakit, maka anggota lain pun akan ikut merasakan perih dan pedihnya.

Kedelapan. Tidak Menyakiti
Semua anggota masyarakat harus mewujudkan ini untuk dirinya, demi menjaga keamanan diri dan masyarakatnya. Islam memerintahkan ini , mengajak masyarakat untuk melakukannya dan menjanjikan pahala besar bagi pelakunya.

Jiwa manusia sendiri terpendam di dalamnya potensi kejahatan dan keburukan, seperti yang Rasul sabdakan dalam Khutbahul Hajah:

وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

Dan kami berlindung kepada Allâh dari berbagai keburukan diri kami dan buruknya amalan kami.

Banyak hadits yang memberikan aturan ketat agar seseorang tidak berbuat perilaku buruk dan tindak kejahatan terhadap orang lain, dengan tidak mengusik dan menyakiti orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْفُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا ائْتُمِنْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ

Berilah kepadaku jaminan enam perkara dari diri kalian, niscaya aku jamin kalian mendapatkan surga: Jujurlah kalian bila berbicara, penuhilah bila kalian saling berjanji, tunaikanlah bila kalian diberi amanah kepercayaan, peliharalah kemaluan kalian, tundukkanlah pandangan kalian, dan cegah atau tahanlah tangan kalian. [HR. Ahmad 5/323, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi’, 1018].

Juga dalam Sunan At-Turmudzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَفَ عَلَى نَاسٍ جُلُوسٍ، فَقَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُمْ مِنْ شَرِّكُمْ؟» قَالَ: فَسَكَتُوا، فَقَالَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَقَالَ رَجُلٌ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنَا بِخَيْرِنَا مِنْ شَرِّنَا، قَالَ: «خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ»

Dari Abu Hurairah bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan orang-orang yang tengah duduk. Beliau bersabda, “Maukah kalau aku beritahukan kepada kalian siapa orang yang paling baik di antara kalian dan siapa yang paling buruk?” Abu Hurairah berkata, “Mereka pun diam.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya sampai tiga kali. Seorang lelaki pun berkata, “Mau wahai Rasûlullâh; beritahukanlah kepadaku siapa orang terbaik dan siapa yang paling buruk.” Beliau bersabda “Orang paling baik di antara kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan orang lain merasa aman dari keburukannya. Sedangkan orang paling buruk di antara kalian adalah orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan orang lain pun tidak merasa aman dari keburukannya.” [HR. At-Tirmidzi no 2263, dishahihkan oleh Al-Albâni rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/ 507]

Oleh karena itu, sama sekali tidak dibenarkan seseorang mengganggu dan menyakit seorang Muslim lainnya. Seorang Muslim harus menahan diri dari berbagai hal yang membuat saudaranya tersakiti dan terzhalimi. Hendaknya ia bertakwa kepada Allâh dalam berbuat kepada sesama.

Kesembilan. Menerapkan Hukuman yang Akan Mencegah Para Pelanggar dan Membuat Jera Orang yang Dzalim
Ini berhubungan dengan tanggung jawab pemerintah, dan dengan diterapkannya hukuman keamanan masyarakat akan stabil. Oleh karena itu, dalam syariat (Islam) ini ada hukum qishash dalam masalah pembunuhan, dan bagi orang yang melakukan tindakan zhalim terhadap orang lain, bagaimanapun bentuknya, maka dia akan mendapatkan hukuman semisal dengan perbuatan yang telah dia lakukan terhadap orang itu. Barangsiapa telah memotong tangan orang lain, maka dia akan diganjar dengan dipotong tangannya. Demikian pula siapa yang sengaja merusakkan mata orang lain dia akan dibalas dengan dirusakkan juga matanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ

mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,  [Al-Mâidah/5:45]

Dan semua itu telah ada aturannya dalam syariat agar terwujudkan keamanan di tengah masyarakat.

Kemudian (hukuman) potong tangan bagi pencuri, juga (hukum) cambukan bagi peminum khamer (minuman keras) dan mencambuk orang yang berzina bila dia masih belum menikah dan dihukum bunuh dengan cara dirajam untuk yang berzina bila dia sudah menikah. Dan berbagai jenis hukuman lainnya yang akan mewujudkan keamanan di tengah masyarakat. Sehingga dengan demikian, akal mereka terjaga, harta mereka aman; kehormatan mereka terlindungi dan mereka tenang di rumah-rumah mereka.

Jika hukum had ini diterapkan sesuai dengan tuntunan yang ada dalam kitab Allâh Azza wa Jalla dan sunnah nabi-Nya maka sungguh akan terwujud keamanan (di tengah) manusia.

Kesepuluh. Mensyukuri Nikmat Allâh Azza wa Jalla
Kenikmatan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba-Nya itu tidak terhitung. Diantara kenikmatan Allâh Azza wa Jalla yang diberikan untuk orang beriman adalah kehidupan yang aman dan tenteram.

Orang yang beriman wajib bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat Islam dan nikmat keselamatan, serta hendaknya mereka menjadi orang yang senantiasa memuji Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya, menjadi orang yang banyak bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas pemberian dan anugrah-Nya.

Jika manusia membalas nikmat Allâh Azza wa Jalla dengan kekufuran, maka sungguh keamanan mereka akan menjadi ketakutan, dan ketenangan akan berganti kecemasan dan kegelisahan. Sebuah nikmat, jika disyukuri dia akan tetap (ada), namun jika diingkari (dikufuri tidak disyukuri) dia akan (pergi) lari (menghilang), sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [Ibrâhîm/14:7]

Maka termasuk diantara (cara untuk) menjaga keamanan adalah dengan cara mensyukuri nikmat Allâh Azza wa Jalla , dan renungkanlah permisalan yang ada dalam al-Qur’an pada firman Allâh Azza wa Jalla :

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

Dan Allâh telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allâh; karena itu Allâh merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.[An-Nahl/16 :112]

Inilah beberapa sebab atau wasilah untuk mewujudkan dan menjaga nikmat aman yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada kita. Mungkin sebagian dari sebab atau wasilah itu sudah termasuk dalam bagian yang lain, namun tetap disebutkan dipoin tersendiri dengan tujuan memberikan penjelasan lebih rinci. Semua sebab dan wasilah yang disebutkan di atas berporos pada iman. Semakin bagus kewalitas iman sesorang, maka semakin besar rasa akan yang akan dia rasakan.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang beriman dan mendapat keamanan di dunia dan di akhirat.

(Poin-poin diatas, disarikan dari kitab Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr yang berjudul Amnul Bilad; Ahammiyatuhu wa Wasa’ilu Tahqîqihi wa Hifzhihi)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Taisîr al-Karîm Ar-Rahmân 2/ 108.
[2] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, no. 720. Riwayat ini dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani t dalam ash-Shahîhah, no. 1890


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/67776-kiat-merealisasikan-dan-menjaga-keamanan.html